WELCOME TO PESONA ALAM ACEH


"WELCOME TO PESONA ALAM ACEH"

Anda dimanapun berada, terima kasih sudah mengunjungi blogg ku ini, walau sederhana aku coba untuk berbagi pengetahuan untuk semua orang yang mencintai "komputernya" sebagai inspirasi hidup. Blogg ini adalah kumpulan berbagai tulisan yang pernah aku buat, baik yang sudah pernah dipublikasi, maupun hanya "tulisan singkat" yang bahasa kerennya disebut leaflet.
Rabu, 18 Mei 2011

Fwd: belajar statistik

mahasiswa hana eh malam
Selasa, 03 Mei 2011

Petani melon gagal panen

kebun melon di desa lancang barat - keude blang paska panen di serang
hama akibatnya produktifitas hasil panen pun cenderung kurang
memuaskan bagi pengusaha. Selain kuantitas produktifitasnya yg minim
hasil panen juga mempengaruhi pada kualitasnya yg kurang bermutu.
Ukuran berat melon per/buah berkisar dibawah standar 3kg/buah normal,
selain ukuran berat yang mempengaruhi juga rasa buahnya yg hambar,
sehingga para agen-agen pedagang buah enggan untuk membelinya walau
dengan harga yang miring.
Kamis, 28 April 2011

Eksotika Pulau Sabang - Aceh

nyoe adalah foto si wali wate di sabang
Pulau Weh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Sabang terletak di kawasan paling barat di Indonesia. Terletak di sebelah utara pantai barat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kurang lebih 35 mil dari ibukota provinsi, Banda Aceh. Penduduk pulau ini berjumlah kurang lebih 24 ribu jiwa. Mata pencaharian mayoritas penduduk setempat adalah nelayan dan pegawai negeri. Beberapa tempat tujuan pariwisata di pulau ini antara lain adalah Iboih, Keuneukai, Gapang, Ujong Kareung dan tempat pemandian air hangat Anoi Itam serta pantai sumur tiga. Taman laut di pulau ini memiliki terumbu karang yang mengelilingi pulau kecil bernama Rubiah. 


Taman rekreasi Iboih terletak di pantai barat pulau Weh. Taman tersebut memiliki hutan pantai dan hutan tropis dataran rendah. Di daerah Ukong Murong (daerah sekitar Iboih), terdapat sebuah gunung berapi kecil, air terjun dan gua yang dihuni oleh burung, kelelawar dan ular. Selain Keindahan bahari, Pulau Weh memiliki tugu NOL Kilometer. Titik kilometer nol yang terdapat di pulau Weh ini sebenarnya bukanlah merupakan titik paling barat Indonesia. Pulau yang terletak di ujung paling barat Indonesia adalah Pulau Rondo. Namun dikarenakan pulau Rondo tidak berpenghuni, maka tugu kilometer nol dibangun di pulau Weh.


Kota Sabang terletak di pulau ini. Di pulau ini juga terdapat tugu kilometer nol sebagai tanda kilometer nol sebagai hasil pengukuran dari Badang Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Tugu ini terletak di ujung barat pulau Weh dan diresmikan Wakil Presiden Try Sutrisno pada tanggal 9 September 1997. Posisi tugu berada di atas bukit yang tubirnya berada persis di tepi laut, 29 km dari pusat kota Sabang. Atau tepatnya, tugu itu berada di desa Iboih, kecamatan Sukakarya Ujung Ba'u. Dari titik kilometer nol ini, seseorang bisa langsung melihat ke laut lepas. 


Dapat dilihat juga tiga buah pulau kecil yang sebelum tsunami merupakan satu kesatuan. Pada tahun 1970-an, pemerintah menetapkan Sabang sebagai salah satu pelabuhan bebas bea (free trade zone) di Indonesia dan hal ini sempat membuka kegiatan di Sabang menjadi marak kembali. Namun pada tahun 1986 status Sabang sebagai pelabuhan bebas bea dihapuskan dan kota ini kembali menjadi kota nelayan. Sesuai dengan informasi yang saya terima dari penduduksekitar satu-satunya kegiatan ekonomi, selain penangkapan ikan (nelayan), yang terdapat di Pulau Weh adalah kerajinan perabotan dari rotan.


Untuk menuju Pulau Sabang, di tempuh dengan jarak ± 45 Menit dari Dermaga Ule Lheu Kota Banda Aceh, dengan menggunakan Kapal Cepat dengan ,jam keberangkatan adalah jam 09.00 (Kapal Pulo Rondo) dan jam 15.00 (Kapal Baruna Duta) dengan tarif Ekonomi : Rp.60.000 dan VIP Rp. 75.000. Atau bisa juga dengan Kapal Lambat KMP BRR dengan Biaya 25.000 Untuk kelas Ekonomi dan 40.000 Kelas VIP. kalau saya milih yang ekonomi, lebih murah dan bisa di Dak Kapal. Lebih asik menikmati suasana perjalanan. Dengan KMP BRR perjalanan di Tempuh sekitar 2 Jam. Setiba di Balohan (Dermaga Pulau Sabang), sudah menunggu beberapa angkutan umum seperti taxi dan ompengan lain, untuk menuju kota sabang, perorang akan di pungut biaya sebesar Rp. 30.000 kita akan diantar ke lokasi yang akan kita tuju. 

Untuk yang baru pertama kali ke pulau ini, tidak usah kuatir, pengendara akan mengantar anda ke Hotel di pusat kota atau tempat lain sesuai dengan keinginan kita. Tentu akan ada renegosiasi ulang untuk ongkos antarnya.



BERWISATA KE LEUSER: SITUS WARISAN DUNIA

Add caption
Bagi anda yang ingin berwisata dan berpetualang di situs warisan dunia (Tropical Heritage Rainforest of Sumatra), dengan melihat aneka ragam terumbu karang, menikmati air terjun dan keindahan danau, menelusuri peninggalan sejarah, menemukan tumbuhan dan satwa langka, melakukan aktivitas outbond, mendaki gunung, menyusuri gua, berendam di air panas alami, mengarungi jeram, menghijaukan mata dan menyegarkan paru-paru serta bersantai sejenak bersama keluarga di pinggiran sungai, di Taman Nasional Gunung Leuserlah tempat yang paling tepat untuk melakukannya. Karena di Taman Nasional Gunung Leuser sangat mudah untuk menemukan tempat-tempat wisata bernuansa alami hutan hujan tropis untuk menyalurkan hobi berpetualang dan rekreasi seperti halnya di Bukit Lawang dan Ekowisata Tangkahan di Kabupaten Langkat – Sumatera Utara, Hutan Wisata Gurah di Kabupaten Aceh Tenggara serta beberapa lokasi wisata lainnya yang sedang berkembang.
Dikarenakan keindahan dan keunikan bentang alamnya serta Potensi kekayaan tumbuhan (3.500 jenis) dan satwanya (536 jenis) dengan spesies kunci bunga Raflesia, Orangutan, Gajah, Harimau dan Badak menempatkan Taman Nasional Gunung Leuser memperoleh predikat internasional sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, ASEAN Heritage Park pada tahun 1984 dan situs warisan dunia, Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004 oleh UNESCO.
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu dari 5 taman nasional tertua yang ada di Indonesia, yang pertama kali ditetapkan oleh sebagai taman nasional pada tahun 1980 dan merupakan taman nasional terluas ke tiga di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/Menhut/1997 tanggal 27 Mei 1997 dengan luas 1.094.692 Ha. Nama Taman Nasional Gunung Leuser diambil dari Gunung Leuser yang membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404 m dpl. Taman Nasional Gunung Leuser terletak di Provinsi Sumatera Utara (203.045,68 ha) dan Nanggroe Aceh Darussalam (891.646,73 ha).
Setiap pengunjung yang ingin masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser diwajibkan untuk memiliki surat ijin/tiket masuk dari instansi Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dengan tarif Rp. 2.500 per orang sekali masuk untuk pengunjung lokal dan Rp. 20.000 per orang sekali masuk untuk pengunjung mancanegara, disamping itu bagi yang membawa kamera akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp. 5.000 bagi pengunjung lokal dan Rp. 50.000 bagi pengunjung mancanegara per unit dan handy cam sebesar Rp. 15.000 bagi pengunjung lokal dan 150.000 bagi pengunjung mancanegara per unit.
Peta Objek dan Daya Tarik Wisata Alam TNGL
Peta Objek dan Daya Tarik Wisata Alam TNGL
Daya Tarik Wisata Leuser
Berwisata ke alam hutan hujan tropis (back to nature) saat ini telah menjadi kebutuhan masyarakat perkotaan untuk memanjakan diri dan pikiran setelah jenuh menjalani runtinitas perkotaan. Hutan hujan tropis menyediakan oksigen sehat, mata air jernih, udara segar, panorama hutan yang hijau dan asri sangat bermanfaat untuk kesehatan badan, mendinginkan mata dan menyegarkan pikiran setelah jenuh dengan suasana perkotaan. Wisata hutan menjanjikan kesehatan badan dan pikiran bagi para pengunjungnya. Kebutuhan ini menjadikan Leuser yang dikenal juga sebagai hutan hujan tropis Sumatra yang sangat diminati masyarakat perkotaan untuk dikunjungi pada hari-hari libur. Bagi anda yang ingin berwisata ke Leuser, ada banyak spot lokasi wisata alam yang dapat dikunjungi yang secara umum memiliki daya tarik wisata berupa nuansa asri panorama alam hutan hujan tropis sumatera, keindahan alur sungai, kesejukan udara, keunikan tumbuhan dan atraksi satwa serta kesenian budaya masyarakat lokal yang kesemuanya akan memberikan kesan dan pengetahuan baru bagi yang mengunjunginya.
Untuk lokasi utama tujuan wisata di Leuser yang dapat dikunjungi secara massal (group) terdiri dari Bukit Lawang dan Tangkahan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara serta Hutan Wisata Gurah di Kabupaten Aceh Tenggara. Di ketiga lokasi ini telah tersedia fasilitas akomodasi wisata seperti transportasi, penginapan dan restoran. Wisatawan asing dan lokal ramai mengunjungi lokasi wisata ini, dengan puncak kunjungan biasanya pada periode bulan Juli s/d Oktober setiap tahunnya.

Sejarah Ganja & Persebarannya Di Aceh

Berdasarakan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan ganja untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria. Ganja diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial ganja juga dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat tumbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan. Seiring dengan perkembangan dunia medis dan industri, negara-negara maju mulai mempertimbangkan untuk menjadikan serat ganja sebagai bahan minyak bakar karena mudah dan aman dari kebakaran. Serat dari tanaman ini juga lebih kuat dari kapas sehingga dapat dijadikan tali kapal oleh Amerika pada perang dunia II.

Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambat laun mentradisi di Aceh.

Orang Indonesia mengenal ganja, opium dan barang candu lainnya dalam bentuk tanaman juga sejak perang dunia II. Belanda melegalkan ganja pada masa itu khususnya kepada orang-orang Cina yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Mereka biasa menghisap candu dengan menggunakan pipa kecil yang panjang. Belanda memang mensuplay ganja untuk para pecandu ini yang didatangkan dari Aceh. Pada akhirnya Belanda juga mengeluarkan undang-undang untuk menghindarkan pemakaian dan akibat yang ditimbulkan (verdovende middelen ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (state gazette No. 278 juncto 536).

Hingga saat ini Aceh adalah surga bagi tanaman ganja, tanaman ini tersebar di seluruh hutan-hutan lebat di Aceh, bahkan diisukan menjadi ladang ganja terbesar di Acia Tenggara selain Thailand. Kondisi geografisnya yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang tidak berubah-ubah, membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan Aceh tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja. Dari kabupaten Bireun, Aceh Besar (Lam Teuba), Aceh Tengah, Aceh Utara pedalaman dan Aceh Tenggara. Di Kabupaen Bireun disinyalir mempunyai 44 titik ladang ganja yang tersebar di lima kecamatan masing-masing seluas 20-90 hektar, Diantara desa yang memiliki ladang terbesar adalah desa Blang Beruru dan di pegunungan Sarah Kulu Peudada. Aparat kepolisian pernah mensinyalir dua tempat ini sekaligus dengan mengerahkan 100 personil polisi. Jarak tempuh yang berat membuat aparat hanya mendapat 23 hektar ladang ganja di dua lokasi tersebut, 10 hektar di desa Blang Beruru dan 13 hektar di pegunungan Sarah kulu. Meski operasi ini belum sepenuhnyamaksimal, namun hasil yang didapat sungguh melelahkan, karena 23 hektar berarti bisa menjadi 2300 kilogram lebih ganja. Padahal diperkirakan masih ada 30 hektar lagi yang masih harus dibasmi dengan medan yang cukup berat dan personil kepolisian yang terbatas.

Di Aceh Besar sebuah desa bernama Lamteuba menjadi terkenal ke luar Aceh karena kualitas ganja yang baik di pasaran nasional maupun internasional. Ladang ganja di desa Lempuyang Pulau Breuh yang dapat menghasilkan 20 ton ganja setiap kali panen. Rimbunnya pepohonan ganja ini bukan hanya karena daerah ini tidak terjangkau oleh manusia. Ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa ganja sebenarnya tidak ditanam atau sengaja dipelihara sebagaimana tumbuhan padi atau palawija lainnya, karena ganja di Aceh bagaikan rumput yang tumbuh subur tanpa harus disemai, disiangi dan diberi pupuk. Biji ganja yang kering saat pecah akan membelah jatuh ke tanah menjadi tumbuhan baru dan tanah Aceh menerimanya. Awalnya bagi masyarakat hanya sebagai tanaman pembunuh hama, bumbu dapur sebagai pelengkap kelezatan makanan dan obat-obatan. Disebabkan harganya yang lebih dari menjual emas, maka mulailah ganja menjadi komoditi eksklusif yang menggiurkan walaupun dengan resiko yang sangat tinggi.

Bagi masyarakat Aceh sendiri penggunaan ganja bagi campuran rokok (tembakau) bukanlah hal yang luar biasa, sebaliknya menjadi pengedar ganja dan sukses itu menjadi pekerjaan yang tidak sembarang orang dapat melakukannya. Ganja harus keluar dari Aceh, karena yang banyak mengharapakan daun ini justru orang-orang dari luar Aceh. Bersusah payah pengedar akan berusaha membawa ganja keluar Aceh, biasanya melalui jalan darat yang harus ditembuh dengan resiko berhadapan polisi atau anjing pelacak. Bagaimana resiko ini tidak ditempuh karena ganja di Aceh harganya 1 kilogram hanya Rp. 200.000, sampai ke Medan menjadi Rp. 700.000 dan di Jakarta atau di Jawa menjadi 2 juta per kilogramnya bahkan jika perons mencapai Rp. 350.000 atau 3,5 juta perkilogram. Resiko perjalanan adalah yang menjadi harga ganja melambung tinggi.

MISTERI MANTE & UMANG

SUKU MANTE DI PEGUNUNGAN BUKIT BARISAN, ACEH, YANG SUDAH DILUPAKAN ORANG DISEBUT-SEBUT LAGI. GUSNAREFENDY MENGAKU PERNAH BERTEMU DENGAN ORANG DARI SUKU TERSEBUT. KEBERADAAN MEREKA DIRAGUKAN. HANYA LEGENDA.

SUDUT-SUDUT Nusantara ternyata masih menyimpan misteri. Ini sebuah contoh. Suku Mante, yang konon tinggal di Pegunungan Bukit Barisan, Aceh, sudah sangat lama dilupakan orang. Suku ini sudah dianggap punah, bahkan sementara orang tak percaya Mante pernah ada.Tapi pekan lalu Gusnar Efendy, 72 tahun, seorang penduduk Blangkejeren, Aceh Tenggara, mengatakan masih sering bertemu dengan mereka di tengah hutan. "Saya tidak bohong. Saya berani digantung," katanya, seperti dikutip Kompas Jumat pekan lalu. Scbagai pawang hutan, Gusnar memang sering menjelajah hutan.Memang masih banyak yang percaya bahwa suku Mante memang ada. Menurut mereka, Mante terakhir diomongkan para orang tua pada 1930-an. Menurut Teuku Syamsudin, 47 tahun, antropolog dan dekan FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dalam hikayat-hikayat Aceh suku Mante sering disebut. Dalam buku Aceh Sepanjang Abad karya Mohammad Said, misalnya, nama suku itu disebut selintas.Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers juga menyinggung adanya suku tersebut. Tapi ia pun tak pernah bertemu langsung. Dia hanya mengutip orang yang katanya pernah melihatnya.Menurut literatur, kata Syamsudin, suku itu sudah ada sebelum Islam masuk ke tanah Aceh pada abad ke-14. Mereka hidup di Gunung Seulawah dan Leuser. Rambut mereka keriting, kulit kehitam-hitaman. Tinggi tubuh maksimal 140 cm. Mereka makan keladi, buah-buahan, dan akar-akaran. "Mereka mirip suku Pigme, yang sampai sekarang masih ditemukan di Afrika bagian selatan," katanya.Tapi Syamsudin meragukan keterangan Gusnar. Bisa saja yang dilihat orang tua itu sekelompok orang Aceh yang lari ke hutan karena perang dahulu.Selain Mante, yang nyaris tinggal legenda, juga suku Umang, yang katanya hidup di pegunungan Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Gua-gua tempat mereka tinggal memang masih bisa ditemukan, tapi belum seorang pun yang pernah melihatnya.Betulkah ada orang Mante itu ? Yang jelas, catatan tentang suku ini tak banyak dimiliki para ahli antropologi kita. Mungkin benar seperti yang dikatakan Syamsudin, yang dilihat Gusnar bukan Suku Mante.Makmun Al Mujahid & Sarluhut Napitupulu (Biro Medan).
Posted by Picasa

page

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Situs terlengkap

http://pentium.wapgem.com