Kamis, 28 April 2011
Sejarah Ganja & Persebarannya Di Aceh
Berdasarakan tinjauan historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan ganja untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria. Ganja diolah untuk minyak lampu dan bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial ganja juga dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput yang tumbuh di mana saja karena tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini. Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat tumbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan. Seiring dengan perkembangan dunia medis dan industri, negara-negara maju mulai mempertimbangkan untuk menjadikan serat ganja sebagai bahan minyak bakar karena mudah dan aman dari kebakaran. Serat dari tanaman ini juga lebih kuat dari kapas sehingga dapat dijadikan tali kapal oleh Amerika pada perang dunia II.
Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambat laun mentradisi di Aceh.
Orang Indonesia mengenal ganja, opium dan barang candu lainnya dalam bentuk tanaman juga sejak perang dunia II. Belanda melegalkan ganja pada masa itu khususnya kepada orang-orang Cina yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Mereka biasa menghisap candu dengan menggunakan pipa kecil yang panjang. Belanda memang mensuplay ganja untuk para pecandu ini yang didatangkan dari Aceh. Pada akhirnya Belanda juga mengeluarkan undang-undang untuk menghindarkan pemakaian dan akibat yang ditimbulkan (verdovende middelen ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (state gazette No. 278 juncto 536).
Hingga saat ini Aceh adalah surga bagi tanaman ganja, tanaman ini tersebar di seluruh hutan-hutan lebat di Aceh, bahkan diisukan menjadi ladang ganja terbesar di Acia Tenggara selain Thailand. Kondisi geografisnya yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang tidak berubah-ubah, membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan Aceh tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja. Dari kabupaten Bireun, Aceh Besar (Lam Teuba), Aceh Tengah, Aceh Utara pedalaman dan Aceh Tenggara. Di Kabupaen Bireun disinyalir mempunyai 44 titik ladang ganja yang tersebar di lima kecamatan masing-masing seluas 20-90 hektar, Diantara desa yang memiliki ladang terbesar adalah desa Blang Beruru dan di pegunungan Sarah Kulu Peudada. Aparat kepolisian pernah mensinyalir dua tempat ini sekaligus dengan mengerahkan 100 personil polisi. Jarak tempuh yang berat membuat aparat hanya mendapat 23 hektar ladang ganja di dua lokasi tersebut, 10 hektar di desa Blang Beruru dan 13 hektar di pegunungan Sarah kulu. Meski operasi ini belum sepenuhnyamaksimal, namun hasil yang didapat sungguh melelahkan, karena 23 hektar berarti bisa menjadi 2300 kilogram lebih ganja. Padahal diperkirakan masih ada 30 hektar lagi yang masih harus dibasmi dengan medan yang cukup berat dan personil kepolisian yang terbatas.
Di Aceh Besar sebuah desa bernama Lamteuba menjadi terkenal ke luar Aceh karena kualitas ganja yang baik di pasaran nasional maupun internasional. Ladang ganja di desa Lempuyang Pulau Breuh yang dapat menghasilkan 20 ton ganja setiap kali panen. Rimbunnya pepohonan ganja ini bukan hanya karena daerah ini tidak terjangkau oleh manusia. Ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa ganja sebenarnya tidak ditanam atau sengaja dipelihara sebagaimana tumbuhan padi atau palawija lainnya, karena ganja di Aceh bagaikan rumput yang tumbuh subur tanpa harus disemai, disiangi dan diberi pupuk. Biji ganja yang kering saat pecah akan membelah jatuh ke tanah menjadi tumbuhan baru dan tanah Aceh menerimanya. Awalnya bagi masyarakat hanya sebagai tanaman pembunuh hama, bumbu dapur sebagai pelengkap kelezatan makanan dan obat-obatan. Disebabkan harganya yang lebih dari menjual emas, maka mulailah ganja menjadi komoditi eksklusif yang menggiurkan walaupun dengan resiko yang sangat tinggi.
Bagi masyarakat Aceh sendiri penggunaan ganja bagi campuran rokok (tembakau) bukanlah hal yang luar biasa, sebaliknya menjadi pengedar ganja dan sukses itu menjadi pekerjaan yang tidak sembarang orang dapat melakukannya. Ganja harus keluar dari Aceh, karena yang banyak mengharapakan daun ini justru orang-orang dari luar Aceh. Bersusah payah pengedar akan berusaha membawa ganja keluar Aceh, biasanya melalui jalan darat yang harus ditembuh dengan resiko berhadapan polisi atau anjing pelacak. Bagaimana resiko ini tidak ditempuh karena ganja di Aceh harganya 1 kilogram hanya Rp. 200.000, sampai ke Medan menjadi Rp. 700.000 dan di Jakarta atau di Jawa menjadi 2 juta per kilogramnya bahkan jika perons mencapai Rp. 350.000 atau 3,5 juta perkilogram. Resiko perjalanan adalah yang menjadi harga ganja melambung tinggi.
Menurut sejarahnya, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke 19 ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah itu memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya. Setalah bertahun dan tumbuh menyebar hampir di seluruh Aceh, ganja mulai dikonsumsi, terutama dijadikan ‘rokok enak,’ yang lambat laun mentradisi di Aceh.
Orang Indonesia mengenal ganja, opium dan barang candu lainnya dalam bentuk tanaman juga sejak perang dunia II. Belanda melegalkan ganja pada masa itu khususnya kepada orang-orang Cina yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Mereka biasa menghisap candu dengan menggunakan pipa kecil yang panjang. Belanda memang mensuplay ganja untuk para pecandu ini yang didatangkan dari Aceh. Pada akhirnya Belanda juga mengeluarkan undang-undang untuk menghindarkan pemakaian dan akibat yang ditimbulkan (verdovende middelen ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (state gazette No. 278 juncto 536).
Hingga saat ini Aceh adalah surga bagi tanaman ganja, tanaman ini tersebar di seluruh hutan-hutan lebat di Aceh, bahkan diisukan menjadi ladang ganja terbesar di Acia Tenggara selain Thailand. Kondisi geografisnya yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang tidak berubah-ubah, membuat ganja mampu tumbuh subur. Di hutan-hutan Aceh tersebar hampir ribuan hektar ladang ganja. Dari kabupaten Bireun, Aceh Besar (Lam Teuba), Aceh Tengah, Aceh Utara pedalaman dan Aceh Tenggara. Di Kabupaen Bireun disinyalir mempunyai 44 titik ladang ganja yang tersebar di lima kecamatan masing-masing seluas 20-90 hektar, Diantara desa yang memiliki ladang terbesar adalah desa Blang Beruru dan di pegunungan Sarah Kulu Peudada. Aparat kepolisian pernah mensinyalir dua tempat ini sekaligus dengan mengerahkan 100 personil polisi. Jarak tempuh yang berat membuat aparat hanya mendapat 23 hektar ladang ganja di dua lokasi tersebut, 10 hektar di desa Blang Beruru dan 13 hektar di pegunungan Sarah kulu. Meski operasi ini belum sepenuhnyamaksimal, namun hasil yang didapat sungguh melelahkan, karena 23 hektar berarti bisa menjadi 2300 kilogram lebih ganja. Padahal diperkirakan masih ada 30 hektar lagi yang masih harus dibasmi dengan medan yang cukup berat dan personil kepolisian yang terbatas.
Di Aceh Besar sebuah desa bernama Lamteuba menjadi terkenal ke luar Aceh karena kualitas ganja yang baik di pasaran nasional maupun internasional. Ladang ganja di desa Lempuyang Pulau Breuh yang dapat menghasilkan 20 ton ganja setiap kali panen. Rimbunnya pepohonan ganja ini bukan hanya karena daerah ini tidak terjangkau oleh manusia. Ada sebagian masyarakat berpendapat bahwa ganja sebenarnya tidak ditanam atau sengaja dipelihara sebagaimana tumbuhan padi atau palawija lainnya, karena ganja di Aceh bagaikan rumput yang tumbuh subur tanpa harus disemai, disiangi dan diberi pupuk. Biji ganja yang kering saat pecah akan membelah jatuh ke tanah menjadi tumbuhan baru dan tanah Aceh menerimanya. Awalnya bagi masyarakat hanya sebagai tanaman pembunuh hama, bumbu dapur sebagai pelengkap kelezatan makanan dan obat-obatan. Disebabkan harganya yang lebih dari menjual emas, maka mulailah ganja menjadi komoditi eksklusif yang menggiurkan walaupun dengan resiko yang sangat tinggi.
Bagi masyarakat Aceh sendiri penggunaan ganja bagi campuran rokok (tembakau) bukanlah hal yang luar biasa, sebaliknya menjadi pengedar ganja dan sukses itu menjadi pekerjaan yang tidak sembarang orang dapat melakukannya. Ganja harus keluar dari Aceh, karena yang banyak mengharapakan daun ini justru orang-orang dari luar Aceh. Bersusah payah pengedar akan berusaha membawa ganja keluar Aceh, biasanya melalui jalan darat yang harus ditembuh dengan resiko berhadapan polisi atau anjing pelacak. Bagaimana resiko ini tidak ditempuh karena ganja di Aceh harganya 1 kilogram hanya Rp. 200.000, sampai ke Medan menjadi Rp. 700.000 dan di Jakarta atau di Jawa menjadi 2 juta per kilogramnya bahkan jika perons mencapai Rp. 350.000 atau 3,5 juta perkilogram. Resiko perjalanan adalah yang menjadi harga ganja melambung tinggi.
Label:
Pengetahuan dan inspirasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar